Daily Archives: Maret 13, 2013

12 Nasehat Kepada Akhwat Muslimah

103025-flower-purple-and-yellow-flowersAkhwatmuslimah.com – Ukhti Muslimah ……………..

1. Jauhilah olehmu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan jagalah lisanmu dari cerewet.

Sesungguhnya Allah berfirman:

“Tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa’:114)

Ketahuilah bahwa di sana ada orang yang menghisab pembicaraanmu dan menghitungnya atasmu.

Ringkaslah pembicaranmu, dan bicaralah sebatas maksud dan tujuanmu!

2. Bacalah Al-Qur’an Al-Kariem, dan berusahalah agar ia menjadi wirid harianmu, juga berusahalah untuk menghafalkannya Sesuai dengan kemampuanmu, agar engkau memperoleh pahala yang besar kelak di hari kiamat.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:

“Kelak (di hari kiamat) akan dikatakan kepada pembaca al-qur’an, bacalah, pelan-pelanlah dan tartilah (dalam membacanya) sebagaimana kamu mentartilkannya ketika di dunia, sesungguhnya tempat dan kedudukanmu ada pada akhir ayat yang kamu baca.” (Hadits Shahih, Tirmidzi, 1329)

3. Tidak baik jika kamu membicarakan semua pembicaraan yang telah kamu dengar, sebab yang demikian itu memberi peluang kepadamu untuk jatuh dalam lubang kebohongan.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meiwayatkan, sesungguhnya Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:”Cukuplah seorang dianggap sebagai pembohong, jika dia membicarakan semua apa yang telah didengarnya.” (Muslim dalam Mukaddimahnya, hadits No:5)

4. Jauhila sifat sombong dan bangga diri dengan sesuatu yang bukan milikmu karena untuk pamer dan menyombongkan diri di depan manusia.

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa ada seorang perempuan yang berkata: wahai Rasulullah, aku katakan bahwa suamiku telah memberiku sesuatu yang tidak pernah diberikan kepadaku. Kemudian Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya sebagaimana orang yang memakai pakaian kepalsuan.” (Muttafaq Alaih)

5. Sesungguhnya dzikir kepada Allah memiliki pengaruh yang agung bagi kehidupan ruh, jiwa, badan, dan sosial seorang muslim.

Oleh karena itu wahai ukhti muslimah berusahalah berdzikir kepada Allah dalam setiap saat dan keadaan, sesungguhnya Allah telah memuji hamba-hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya, firman-Nya:

“Yaitu orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imran:191)

6. Jika engkau hendak berbicara janganlah engkau agung-agungkan, jangan engkau fasih-fasihkan, dan jangan pula engkau buat-buat, sebab yang demikian itu adalah sifat yang dibenci oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam

Beliau bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya kelak di hari kiamat ialah mereka yang suka bicara (yang tidak berfaedah), dan yang suka mengada-adakan pembicaraannya, dan para Mutafaihiqun (orang yang mengagung-agungkan pembicaraan bohong)”. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmidzi, 1642)

7. Hendaklah engkau berteladan kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam , yang senantiasa lebih banyak diam dan berfikir, tidak memperbanyak tertawa apalagi berlebih-lebihan di dalamnya.

Jika kamu berbicara, maka batasilah pembicaraanmu hanya yang baik-baik saja, jika kamu tidak bisa maka diam itu lebih baik bagimu. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mengatakan yang baik atau lebih baik diam.” (Bukhari)

8. Janganlah sekali-kali memutus pembicaraan orang lain atau membantahnya atau menampakkan pelecehan terhadapnya, tetapi jadilah pendengar yang baik yang mendengarkan pembicaraan orang lain dengan sopan (sebagai tanda budi baikmu), dan jika engkau terpaksa membantah ucapan mereka bantahlah dengan cara yang lebih baik (untuk menampakkan kepribadianmu).

9. Waspadalah sepenuhnya dengan sikap mengejek dan merendahkan dialek pembicaraan orang lain, seperti terhadap orang yang kurang lancar bicaranya atau terhadap mereka yang berbicara dengan tersendat-sendat.

Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (mengolok-olok).” (Al-Hujurat:11)

10. Jika engkau mendengar bacaan Al-Qur’an al-Karim, maka hentikan pembicaraanmu apapun masalah yang sedang engkau bicarakan, karena menghormati terhadap kalamullah,

dan untuk mengindah perintah-Nya yang mana Dia telah berfirman:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan baik (tenang) agar kamu mendapat rahmat.” (Al-’Araf:204)

11. Senantiasa menimbang kata-kata (ucapanmu) sebelum diucapkan oleh lisanmu, dan berusahlah agar kalimat yang terucap oleh lisanmu adalah kalimat yang baik dan menyejukkan tetap dalam kerangka jalan kebaikan, jauh dari keburukan dan sesutau yang menghantarkan kepada murka Allah. Sesungguhnya kata-kata itu memiliki tanggung jawab yang besar, sudah berapa banyak kata-kata yang memasukkan pengucapnya ke dalam surga, sebaliknya sudah berapa banyak kata-kata yang menenggelamkan pengucapnya ke lembah Jahannam.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah pembicaraan yang mengandung ridla Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah akan mengangkatnya dengannya beberapa derajat, dan seorang hamba berbicara dengan
suatu yang dimurkai Allah, seakan-akan manusia tidak peduli dengannya maka Allah menceburkannya karenanya ke dalam lembah Jahannam.” (HR. Bukhari,6478)

12. Pergunakanlah lisanmu untuk beramar ma’ruf dan nahyu munkar serta untuk berdakwah kepada kebaikan, karena lisan adalah nikmat Allah yang agung yang telah dikaruniakan kepadamu.

Allah berfirman:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (An-Nisa’:114)

“Nasehat kepada para Muslimah” (Bagian Satu), ‘Abdul ‘Aziz al-Muqbil.

Kenapa Pohon Gharqad Melindungi Yahudi

Akhwatmuslimah.com – Jawabannya sudah langsung dijawab dalam hadits tentang pohon itu, yaitu pohon Gharqad itu pohonnya orang Yahudi. Sehingga pohon itu akan melindungi mereka dari kejaran umat Islam.

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian (muslimin) memerangi Yahudi, kemudian batu berkata di belakang Yahudi, “Wahai muslim, inilah Yahudi di belakangku, bunuhlah!” (HR Bukhari dan Muslim dalam Shahih Jami’ Ash-Shaghir no. 7414)

لا تقوم الساعة حتى يقاتل المسلمون اليهود، فيقتلهم المسلمون حتى يختبئ اليهودي من وراء الحجر والشجر، فيقول الحجر أو الشجر: يا مسلم، يا عبد الله، هذا يهودي خلفي، فتعال فاقتله.. إلا الغرقد، فإنه من شجر اليهود” (ذكره في: صحيح الجامع الصغير أيضًا -7427)

Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga muslimin memerangi Yahudi. Orang-orang Islam membunuh Yahudi sampai Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon. Namun batu atau pohon berkata, “Wahai muslim, wahai hamba Allah, inilah Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuh saja. Kecuali pohon Gharqad (yang tidak demikian), karena termasuk pohon Yahudi.” (HR Muslim dalam Shahih Jami’ Ash-shaghir no. 7427)

Hadits di atas dari segi kekuatan sanadnya termasuk hadits shahih tanpa perbedaan pendapat. Dan termasuk dari tanda-tanda kenabian Rasulullah SAW yang terkait dengan mukjizat kabar yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Namun ada yang hal yang kurang kita sadari selama ini. Yaitu bahwa hadits ini baru terasa relevan di zaman sekarang ini saja. Sepanjang 14 abad lamanya, tiap ada orang yang baca hadits ini di zamanya, akan sedikit berkerut kening. Mengapa?

Sebab di masa mereka hidup, sejarah Yahudi tidak seperti sekarang. Mereka belum lagi menjadi sosok negara super power yang ampuh. Keangkuran Yahudi dengan negara Israelnya belum pernah ada sepanjang 14 abad itu. Keberadaannya baru muncul di abad 20 ini atau abad 14 hijriyah.

Orang Yahudi sepanjang sejarah Islam, justru selalu berada di bawah perlindungan negeri-negeri Islam. Komunitas Yahudi selalu dimusuhi oleh semua bangsa dan negara sepanjang sejarah. Kemunitas Yahudi pun pernah dibantai oleh Nazi Jerman di masa Hitler. Nyaris tidak ada tempat buat Yahudi kecuali di dalam negeri Islam. Mereka aman bila tinggal di wilayah khilafah Islam, karena hukum Islam melarang memerangi ahlu zimmah (kafir zimmi).

Salah satu penguasa yang anti Yahudi adalah Spanyol Kristen. Ketika Spanyol dikuasai rejim Katolik, bukan hanya umat Islam yang diusir, tetapi termasuk juga kalangan Yahudi. Tidak ada satu pun tanah di dunia ini yang mau menampung bangsa ini, kecuali penguasa muslim Turki Utsmani.

Maka selama 14 abad itu, hadits ini cukup mengherankan umat Islam. Bagaimana mungkin umat Islam yang selama ini melindungi bangsa Yahudi serta mengharamkan darah mereka, lantaran mereka termasuk ahlu zimmah, tiba-tiba akan memerangi Yahudi sampai mati. Bahkan batu dan pohon akan memerintahkan umat Islam untuk membunuh mereka juga.

Teka-teki hadits ini baru terjawab pada tahun 1948, ketika komunitas Yahudi dunia melakukan agresi, penjajahan dan pencaplokan sebuah negeri Islam merdeka, Palestina. Dan pada tahun 1967 semakin jelas lagi hadits ini, karena ternyata komunitas Yahudi yang selama 14 abad hidup di bawah perlindungan, asuhan dan kerahiman umat Islam, tiba-tiba berubah menjadi srigala liar yang mengakibatkan perang Arab-Israel.

Barulah di masa sekarang ini hadits ini menjadi lebih punya arti, setelah terkuaknya misteri. Ternyata Yahudi yang selama ini hidup di bawah asuhan dan kasih sayang umat Islam, tiba-tiba jadi makhluk buas pembantai nyawa.

Dan menarik untuk diperhatikan, bahwa Yahudi sudah mempersiapkan apa yang mereka dapat di masa sekarang ini sejak lama. Bahkan ada yang mengatakan sejak ribuan tahun yang lalu. Konon terbentuknya negara-negara super power, penjajahan barat atas dunia timur, naiknya para pejabat di masing-masing negara adidaya, semua tidak lepas dari sinario mereka. Inggris di masa lalu dan Amerikadi masa sekarang, tidak lain hanyalah alat yang disiapkan untuk mewujudkan cita-cita pembentukan Israel.

Karena itu mustahil meminta Amerika untuk menekan Israel agar menghentikan serangan mereka ke negeri Islam. Adanya hak veto di PBB semakin membuktikan bahwa PBB pun termasuk bagian dari alat yang diciptakan oleh mereka.

Kepastian Kekalahan Yahudi

Selain terkuaknya misteri hadits ini di abad 14 hijriyah, hadits ini sangat tegas menyebutkan kepastian kehancuran bangsa pengingkar Allah dan nabi ini. Bahkan pohon dan batu pun akan ikut membantu umat Islam dalam menumpas mereka.

Karena itu, hadits ini juga menjadi penghibur derita, pelipur lara dan pembangkit harapan buat umat Islam yang sempat merasakan kebengisan Yahudi secara lebih nyata. Bahwasanya Israel yang bukan manusia itu pasti akan dikalahkan, mati kutu dan mati betulan. Ini adalah sebuah kepastian, karena yang bilang bukan sembarang orang. Yang bilang adalah seorang yang paling dekat kepada Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Yang menarik juga, di dalam hadits ini Rasulullah SAW menyebutkan sebuah nama pohon, yaitu Gharqad. Pohon ini milik Yahudi, sehingga kalau ada Yahudi sembunyi di baliknya dari kejaran umat Islam, pohon ini tidak akan berbicara. Sebaliknya, pohon ini akan melindungi Yahudi, karena pohon ini milik mereka.

Dan mengapa pohon gharqad itu melindungi yahudi?

Benar bahwa semua benda itu ciptaan Allah. Dan seharusnya semuanya tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya. Bukan hanya pohon, bahkan tanah, langit, bumi, serta semua isinya, tunduk kepada Allah, baik secara terpaksa maupun secara sukarela.

Sebenarnya jin kafir atau Iblis sekalipun, juga makhluk ciptaan Allah. Kalau Allah kehendaki, bisa saja Iblis tidak kafir. Kalau Allah kehendaki, bisa saja tidak ada skenario Iblis ingkar atas perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam alaihissalam.

Tapi yang kita tahu, semua itu adalah kehendak Allah SWT. Sehingga kita dapati Iblis melakukan tindakan kemungkaran yang dilarang, bahkan membangkang terhadap perintah Allah SWT. Kalau pakai logika anda, seharusnya Iblis tidak boleh membangkang, bukankah dia itu makhluk Allah?

Tetapi sekali lagi, kita beriman kepada Allah SWT dan juga kepada sifat-sifat-Nya. Dan salah satu sifat Allah SWT adalah berkehendak. Di antara kehendak-kehendak Allah itu, Allah SWT ternyata menghendaki Iblis membangkang. AKan tetapi bukan pada tempatnya untuk mempertanyakan Allah SWT atas setiap kehendaknya.

Dan itulah bedanya tuhan dan bukan tuhan. Tuhan itu berkehendak dan tidak perlu ditanya-tanyai latar belakang semua yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, hanya yang bukan tuhan saja yang bisa ditanya-tanyai kalau bertindak. Kalau kita melakukan dosa dan maksiat atau hal-hal lain yang tidak senonoh, maka kita akan ditanyai dan harus bertanggung-jawab, paling tidak nanti di akhirat.

Sedangkan tuhan, tidak perlu dan bukan dalam posisi untuk diinterogasi, mengapa melakukan ini dan mengapa melakukan itu. Sebab hakikat tuhan adalah absolut, mutlak, tidak perlu menjelaskan apa yang dikehendaki-Nya.

Kembali ke pohon Gharqad, tentu saja bukan kafir. Sebab istilah kafir itu hanya berlaku buat dua jenis makhluk saja, yaitu jin dan manusia. Selebihnya semua tunduk kepada apa yang Allah kehendaki.

Maka pohon Gharqad itu kalau kita lihat dari kacamata hakikat, justru sangat tunduk kepada Allah. Dalam arti dia tunduk kepada skenario dari Allah untuk menjadi pohon yang melindungi Yahudi di akhir zaman. Tetapi tidak perlu kita vonis sebagai pohon kafir.

Yang kafir itu hanyalah Yahudi, yaitu mereka ingkar dan membangkang dari ketentuan Allah SWT yang bersifat formal. Walhasil, Yahudi nanti akan masuk neraka, semuanya dan tidak keluar-keluar lagi dari sana selamanya. Kecuali Yahudi yang tobat dan sempat masuk Islam, maka mereka adalah saudara kita.

Kisah Mengharukan : Jangan Matikan Aku Sebelum Hafal Al Qur’an

al-quran-yang-mulia (1)Akhwatmuslimah.com – Tepatnya tanggal 5 Oktober 2008 – seorang gadis kecil Indonesia mengalami musibah yang luar biasa di negeri antah berantah nan jauh – Syria. Dia terjatuh dari ketinggian sekiar 15 meter dan terbanting-banting di anak tangga ampiteater Roma di Busrah. Akibat kecelakaan ini gadis kecil tersebut mengalami pendarahan otak yang sangat hebat, dia harus menjalani berbagai pembedahan otak dan merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Pada saat pendarahan masih menguasai otaknya sehingga kesadarannya timbul tenggelam, gadis kecil ini lirih berdoa :

“Ya Allah, jangan matikan aku sebelum aku selesai menghafal Al-Qu’ran…”.

Dengan tekad yang luar biasa inilah gadis kecil tersebut berjuang melawan sakit di kepala yang tidak kunjung henti, terkadang dia harus menjeduk-jedukkan kepalanya di tempat tidur untuk mengimbangi rasa sakit yang sangat di dalam kepalanya.

Beratnya komitmen untuk menghafal Al-Qur’an yang dialami oleh gadis kecil ini juga jauh diatas beban manusia pada umumnya, betapa frustasinya dia ketika hafalan ayat-ayat Al-Qur’an seolah timbul tenggelam di kepalanya silih berganti dengan rasa sakit yang bisa tiba-tiba muncul kapan saja. Tetapi dia terus belajar dan terus menghafal nyaris tanpa henti, dia hanya berhenti menghafal ketika sakit kepalanya sudah tidak tahan lagi.

Allah dan para malaikat rupanya menyaksikan betapa kuat niat gadis kecil ini untuk menghafal Al-Qur’an. Pada bulan Mei 2010 oleh ustadzah-nya dia dibimbing untuk menyelesaikan ujian tahfiz setengah Al-Qur’an (15 Juz) dengan seorang syeikh Qura di Damascus.

Gadis kecil ini-pun lulus dan memperoleh syahadah (ijazah) sanad bacaan Al-Qur’an yang sampai kepada Ali bin Abi Talib Radhiallahu ‘Anhu, dan tentu saja sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam.

Tidak berhenti di sini, gadis kecil tersebut mencanangkan niatnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an penuh 30 juz pada Ramdhan 1432 H. Maka target ini hanya meleset kurang lebih 3 pekan ketika pada tanggal 19 Syawwal 1432 H /19 September 2011 kemarin gadis kecil ini menyelesaikan hafalannya yang 30 juz, diiringi sujud syukur orang tuanya. Allahu Akbar…

Atas permintaan kedua orang tuanya yang tawadhu’, saya tidak bisa ungkapkan nama gadis kecil ini. Tetapi bagi para gadis kecil – gadis kecil lainnya yang belajar Al-Qur’an di Madrasah Al-Qur’an Daarul Muttaqiin Lil-Inaats (Pesantren Putri) – Jonggol, gadis kecil penghafal Al-qur’an ini kini menjadi salah satu guru atau mudarrisah (ustadzhah) mereka.

Bahkan bukan hanya bagi anak-anak putri yang belajar Al-qur’an di madrasah tersebut dia menjadi guru, gadis kecil penghafal Al-qur’an ini juga layak untuk menjadi guru bagi kita semua para orang tua.

Guru dalam hal menyikapi musibah, guru dalam hal menghadirkan Allah dalam mengatasi persoalan kita, guru dalam mengisi hidup dengan Al-Quran, guru dalam merealisasikan niat, guru dalam menjaga komitment, guru dalam syukur dan syabar.

Bila gadis kecil dengan beban sakit kepala yang luar biasa ini bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an-nya 30 Juz dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, berapa banyak yang sudah kita hafal ?, berapa banyak yang kita niatkan untuk menghafalnya di sisa usia kita ?, seberapa kuat niat kita untuk mengamalkannya? Kita tahu persis jawabannya untuk diri kita masing-masing.

Semoga Allah dan para malaikatNya terus mendampingimu hingga dewasa dan menjadi guru dan sumber inspirasi untuk memperbaiki anak-anak (dan para orang tua) dunia.

Sa’ad bin Abi Waqqash: Singa Yang Menyembunyikan Kukunya

Berita yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat menggelisahkan hati Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab…. Disusul kemudian dengan berita tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak-Kaum Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka perbuat, Berita ikrar yang telah mereka akui…, menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persi.

Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan meninggalkan Ali karamallahu wajhah di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum berapa jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara Para shahabat untuk melakukan tugas tersebut.

Usul ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang menyatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mu’minin dengan cara seperti ini, sementara Islam sedang menghadapi hari-harinya Yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru.

Umar pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Asshalata jami’ah “;sementara Ali dipanggil datang, yang bersama beberapa orang penduduk Madinah berangkat menuju tempat perhentian Amirul Mu’minin. Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih seorang panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi Persi.

Amirul Mu’minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada para shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan berfikir. Tiba-tiba berserulah Abdurrahman bin ‘Auf: “Saya telah menemukannya…!”

”Siapa dia?” tanya Umar.

Ujar Abdurrahman: “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin Malik Az Zuhri!”

Pendapat ini disokong sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu’minin meminta datang Sa’ad bin Malik Az Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqash. Lalu diangkatnya sebagai Amir atau gubernur militer di Irak yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.

Nah, siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah dia yang bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya, akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, sabdanya: “Ini dia pamanku…! Siapa orang yang punya paman seperti pamanku ini…?” Itulah dia Sa’ad bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sa’ad masuk Islam selagi berusia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya: “Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam”. Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.

Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah Al Arqam untuk tempat pertemuan dengan shahabat-shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyatakan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.

Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama: bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela Agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan kedua: bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. di waktu perang Uhud:

“Panahlah hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu….!”

Memang! Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah, katanya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah…!” Dan berkata pula Ali bin Abi Thalib: “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad… Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud:

“Panahlah, hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu….!”

Sa’ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. la mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh: panahnya dan do’anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya…, dan jika ia menyampaikan suatu permohonan kepada Allah pastilah dikabulkan-Nya…! Menurut Sa’ad sendiri dan juga para shahabat-nya, hal itu adalah disebabkan do’a Rasulullah juga bagi pribadinya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diajukannyalah do’a yang maqbul ini:

“Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkan-lah do’anya…!”

Demikianlah ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa do’anya tak ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga ia tak hendak berdo’a bagi kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad:

“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki ‘Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut, maka katanya: Walau begitu saya do’akan kamu kepada Allah “. Ujar laki-laki itu: “Rupanya kamu hendak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi… ‘Maka Sa’ad pun pergi wudlu dan shalat dua raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya: ‘Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang amarah murka-Mu, maka mohon dijadikan hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran…! ” Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan dibawanya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan-bulanan injakan dan sepakannya hingga akhirnya tewas menemui ajalnya…!”

Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.

Dalam kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat terhimpun, maka di tangan Sa’ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus.

Di samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam soal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal, diimbangi — bahkan mungkin diatasi — oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan Allah.

Ketika Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kebetulan ia jatuh sakit, maka Rasulullah datang menengoknya.

Tanya Sa’ad: “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja. Bolehkah saya shadaqahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak “jawab Nabi. “Kalau begitu, separohnya?”tanya Sa’ad pula. “Jangan”, ujar Nabi. “Jadi, sepertiganya?” “Benar” ujar Nabi; dan sepertiga itu pun sudah banyak…, lebih baik Anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain. Dan setiap nafqah yang Anda keluarkan dengan mengharap keridlaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran,bahkan walau sesuap makanan yang Anda taruh di mulut isteri anda!”

Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai seorang puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi beberapa orang putera. Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika didengarnya Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air matanya bercucuran hingga membasahi haribaannya. la adalah seorang shahabat yang diberi ni’mat taufiq dan diterima ibadahnya.

Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para shahabat, sabdanya: “Sekarang akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang laki-laki penduduk surga “.

Para shahabat pun nengok kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh taufiq dan karunia itu. Dan tidak lama antaranya muncullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash….

Selang beberapa lama, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya dan mendesak agar menunjukkan kepadanya jenis ibadat dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran tersebut yang telah diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk mengerjakannya:

Maka ujar Sa’ad: “Tak lebih dari amal ibadat yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara Kaum Muslimin!”

Nah, itulah dia “singa yang selalu menyembunyikan kukunya” yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf.

Dan inilah tokoh yang dipilih Umar untuk memimpin pertempuran Qadisiyah yang dahsyat itu! Kenapa memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi Islam dan Kaum Muslimin, karena keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mu’minin:

  • Ia adalah orang yang maqbul do’anya… ; jika ia memohon diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya!
  • la seorang yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
  • Salah seorang anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam….
  • Dan satu lagi yang tak dapat dilupakan oleh Umar,suatu keistimewaan yang tak dapat diabaikan harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.

Umar tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah….Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari Agama Allah mengalami kegagalan. Maka ditempuhnya segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan atau minuman hingga hampir menemui ajalnya.

Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual Agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.

Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksikannya kali yang terakhir, dengan hadapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang amat menghancurkan hatinya yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang….

Tapi keimanannya terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakannya dengan suara keras agar kedengaran olehnya:

“Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah anakanda akan meninggalkan Agama ini walau ditebus dengan apa pun juga…! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak…!”

Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat kepadanya, sebagai berikut:

“Dan seandainya kedua orang tua memaksamu untuh mempersekutukan Aku, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti kedua-nya.” (Q.S. 31 Luqman: 15)

Nah, tidakkah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya…?

Jika demikian halnya, pantaslah Amirul Mu’minin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persi yang tidak kurang jumlahnya dari seratus ribu prajurit yang terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik…!

Memang, kepada tentara musuh yang menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa tigapuluh ribu mujahid, tidak lebih…; di tangan masing-masing tergenggam panah dan tumbak. Hanya semata-mata panah dan tombak… tetapi dalam dada menyala kemauan dari Agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid…

Dan kedua pasukan itu pun bertemulah. Tetapi belum, mereka belum lagi bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mu’minin Umar…. Di bawah ini tertera surat Umar yang memerintahkannya segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu gerbang memasuki Persi, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:

“Wahai Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah Anda terpedaya di hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa Anda adalah paman dan shahabat Rasulullah! Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya! Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina, pada pandangan Allah serupa tidak berbeda…. Allah Tuhan mereka, sedang mereka hambaNya… Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan, dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan. Maka perhatikanlah segala sesuatu yang pernah Anda lihat pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah, karena itulah yang harus diikuti…!“

Kemudian katanya pula:

“Tulislah kepadaku segala hal ikhwal tuan-tuan bagaimana kedudukan tuan-tuan, dan di mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan…, terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan tuan-tuan…!”

Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin dan menuliskan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.

Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu Rustum.

Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru dikirimnya, Amirul Mu’minin menulis:

“Sekali-kali janganlah Anda gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Bermohonlah kepada Allah dan tawakkallah kepada-Nya! Dan kirimlah sebagai utusan, orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah…! Dan tulislah surat kepadaku setiap hari…!”

Kembali Sa’ad mengirim surat kepada Amirul Mu’minin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai bergerak menuju Kaum Muslimin…. Balasan dari Umar datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.

Sa’ad bin Abi Waqqash seorang anggota pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah dan termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari berbagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak pernah meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit biasa…! Baik kekuatan maupun kedudukannya sebagai pemimpin, tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk mengandalkan pendapatnya semata. Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mu’minin di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengirimnya sepucuk surat tiap hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu telah hampir berkecamuk….

Sebabnya tidak lain, ialah karena Sa’ad ma’lum bahwa di Madinah, Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri…, tetapi tentulah ia akan bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan dengan shahabat-shahabat utama Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana perang, Sa’ad tak hendak kehilangan barqah dan manfa’atnya musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tabu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya langsung dipegang Umar Al Faruq, pembangkit ilham atau inspirasi agung….

Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya serombongan di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam.

Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka mengatakan:

“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebas kan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam…. Maka siapa-siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah…! ” “Apa janji yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. Jawab pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup…!”

Para utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang…. la berharap seandainya saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan di sekujur tubuhnya hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah!

Seandainya saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi tinggi…. Adapun sekarang ini.. *. Tetapi tidak, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mu’min yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah!

Ketika itu bangkitlah “singa yang menyembunyikan kukunya” itu, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:

Bis millahirrah ma nirrahim

Telah Kami cantumhan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfudh)

peringatan bahwa: Bumi itu diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih –. –.(Q.S. 21 Al Anbiya:105)

Setelah menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap kepada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar…, Allaahu Akbar…, Allaahu Akbar….

Alam pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad berseru kepada anak buahnya: “Ayolah maju dengan berkat dari Allah…!”

Dengan menabahkan diri menanggung sakit yang dideritanya, Sa’ad naik ke anjung rumah yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu terbuka lebar..

.. Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut….

Bisul-bisul pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya: “Majulah ke kanan…”., dan kepada yang lain: “Tutup pertahanan sebelah kiri awas di depanmu hai Mughirah ke belakang mereka hai Jarir pukul hai Nu’man…. serbu hai Asy’ats.., hantam hai Qa’qa’ majulah semua hai shahabat-shahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam…

Suaranya yang berwibawa, penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Maka berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api!

Dan setelah melihat tewasnya panglima bestir dan prajurit prajurit pilihan mereka, sisa-sisa musuh tunggang-langgang melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang keberhalaan.

Di pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi…. Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara perang berlangsung secara kecil-kecilan antara Persi dan Kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Madain saja, bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentukan….

Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap.Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.

Nah, di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya”. Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar biasa!

Demikianlah Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai Tigris, dan disuruhnya menyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.

Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.

Ketika itu disiapkannya dua kompi tentara: Pertama yang dinamakannya “kompi sapu jagat”, sebagai komandannya diangkatnya “Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua disebutnya “kompi gerak cepat”, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin ‘Amr.

Adapun tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang mena’jubkan…

Hingga siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi para ahli sejarah, bahkan bagi diri Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri….

Salman Al Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua belah tangannya karena ta’jub dan bangga, katanya: “Agama Islam masih baru….Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan, sebagai halnya daratan telah mereka kuasai….

Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya, pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripadanya berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong bondong…!” Dan benarlah apa yang dikatakannya itu….

Sebagaimana mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya..!

Mangkok tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Kepada teman-temannya diserukannya agar menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mangkok itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut….

Salah satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, katanya:

“Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca: Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil — cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh orang-orangnya, hingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang.

Maka berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya…!”

Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan dan perluasan kota.

Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.

Pada suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul Mu’minin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut, cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka: “Sa’ad tidak baik shalatnya…!”

Mendengar itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya:

“Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan memendekkan dua raka’at yang akhir”.

Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab: ‘Apakah Anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak baik…?

Demikianlah ia memilih tinggal di Madinah.

Ketika Amirul Mu’minin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. yang akan mengurus soal pemilihan khalifah baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah. Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad….

Sewaktu memberi wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar berkata: “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya…! Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai pendampingnya…!”

Sa’ad mencapai usia lanjut… dan tibalah saat terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad tak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya.

Pada suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju kepadanya, dan anak saudaranya yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya berkata: “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!”

Ujar Sa’ad: “Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja. I., jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya…!”

Mendengar jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tak hendak bercampur tangan.

Dan tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada Sa’ad:

“Kenapa Anda tidak ikut berperang di pihak kami?”

Ujarnya: “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai saudara…. hai saudaraku! Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali…”

Kata Mu’awiyah: “Bukankah dalam Al Quran tak ada: Hai saudara, hai saudara! Hanya firman Allah Ta’ala:

Jika di antara orang-orang Mu’min ada dua golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah…!

(Q.S.49 Al Hujurat:9)

Maka Anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya…!”

Sa’ad menjawab sebagai berikut:

“Saya tak hendak memerangi seorang laki-laki —maksudnya Ali — yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda: Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi (engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”

Suatu hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun…, ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah Ta’ala….

Saatnya yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut:

“Kepala bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku…? Sungguh Allah tiada akan menghukumku…, dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga…!”

Kekebalan imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan kengeriannya! Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. telah menyampaikan kabar gembira kepadanya sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. itu! Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi…?

“Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku dan Sungguh aku termasuk penduduk surga…”

Hanya ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya…. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Disuruhlah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain itu, katanya: “Telah kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini…!” Memang, kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan Lulus dan bariman serta gagah berani…!

Dan sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orangorang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari para shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di bumi dan tanah Baqi’.

Selamat jalan wahai Sa’ad…

Selamat jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi untuk selama-lamanya…!

 

hasanalbanna.com

Mush’ab bin Umair: Duta Islam Pertama & Bapak Tauhid

 

Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan.

Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum.”

Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush’ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan?

Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang baik”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tetapi corak pribadi manakah…?

Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanaiaan umumnya.

Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al Amin… Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da’i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.

Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi bush pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karma walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.

Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajarnya ayat-ayat Al Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Al Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang pangsbergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas — berlipat ganda dari ukuran usianya — dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah…!

Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.

Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Al Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai — demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan — menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.

Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, laludikurung dan dipenjarakannya amat rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara saudaranya kaum Muhajirin, lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karenataat kepadanya.

Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengurbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar…

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka — pakaiannya sebelum masuk Islam — tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau yang wangi.

Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya bersabda: “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bile rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi.” Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi.”

Demikian Mush’ab meninggalkari kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.

Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani …

Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.

Sebenarnya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah rnenjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik.” Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da’i dan da’wah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela Al Islam.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua betas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit ‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka……

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat perternuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dan Allah, menyampaikan kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena keeerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba tiba disergap Usaid bin Hudlair kepada suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu di antaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan… . Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam — yang diserukan beribadah kepada-Nya — oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorang pun yang dapat melihat-Nya.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam…, laksana tenang dan damainya cahaya fajar…, terpancarlah ketulusan hati “Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta petimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al Quran dan menguraikan da’wah yang dibawa. oleh Muhammad bin Abdullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada shahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu…! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah.”

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah ….

Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.

Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Tbadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya-bertanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijrah ke Madinah.

Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah “Mush’ab yang balk”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.

Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.

Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.

Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara …

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam… . Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair.

Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceriterakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil Al ’Abdari dari bapaknya, ia berkata:

“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul” . Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh .”

Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera…. la gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada…. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Di saat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.”

Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al Quran yang selalu dibaca orang…. Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia…. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.

Wahai Mush’ab cukuplah bagimu Ar Rahman…. Namamu harum semerbak dalam kehidupan….

Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat:

“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mushab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi… . Dan betapapun penuhnya Medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya …. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya …. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:

Di antara orang-orang Mu min terdapat pahlawan pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda:

“Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.”

Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu kearah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru:

Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.

Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, Sabdanya :

“Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.”

Salam atasmu wahai Mush’ab

Salam atasmu wahai para syuhada…

 

hasanalbanna.com

Hijrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Muhammad Sa'id Ramadhan Al Buthi

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa setelah Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh melihat kaum Muslim sudah banyak yang berangkat hijrah ke Madinah, ia datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ijin untuk berhijrah. Tetapi dijawab oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam; ”Jangan tergesa-gesa, aku ingin memperoleh ijin dulu dari Allah.” Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau jugamenginginkannya?” Jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ya.” Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh menangguhkan keberangkatannya untuk menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia lalu membeli dua ekor unta dan dipeliharanya selama empat bulan.

Selama masa tersebut kaum Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memiliki pendukung dan sahabat dari luar Mekkah. Mereka khawatir jangan-jangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari Mekkah kemudian menghimpun kekuatan di sana dan menyerang mereka.

Maka diadakanlah pertemuan di Darun Nadwah (rumah Qushayyi bin Kilab, tempat kaum Quraisy memutuskan segala perkara) utuk membahas apa yang harus dilakukan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Akhirnya diperoleh kata sepakat untuk mengambil seorang pemuda yang kuat dan perkasa dari setiap kabilah Quraisy. Kepada masing-masing pemuda itu diberikan sebilah pedang yang ampuh kemudian secara bersama-sama mereka serentak membunuhnya, agar Bani Manaf tidak berani melancarkan serangan terhadap semua orang Quraisy. Setelah ditentukan hari pelaksanaannya. Jibril ‘Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan berhijrah dan melarangnya tidur di tempat tidurnya pada malam itu.

Dalam riwayat Bukhari, Aisyah Radhiyallahu ‘Anh mengatakan: “Pada suatu hari kami duduk di rumah Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh, tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepada Abu Bakar,”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang padahal beliau tidak biasa datang kemari pada saat-saat seperti ini.” Kemudian Abu Bakar berkata: “Demi bapak dan ibuku yang menjadi tebusan engkau, Demi Allah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang pada saat seperti ini, tentu ada suatu kejadian penting.” Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dan meminta ijin untuk masuk. Setelah dipesilahkan oleh Abu Bakar, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun masuk ke rumah, lalu berkata kepada Abu Bakar,”Suruhlah keluargamu masuk ke rumah.” Abu Bakar menjawab,”Ya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada siapa-siapa kecuali keluargaku.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan,”Allah telah mengijinkan aku berangkat berhijrah.”

Tanya Abu Bakar, “Apakah aku jadi menemani anda, ya RAsulullah?” Jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ya, benar engkau menemani aku.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Ya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ambillah salah satu dari dua ekor untaku.” Jawab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Ya, tetapi dengan harga.”

Lebih jauh Aisyah Radhiyallahu ‘Anh menceritakan: “Kemudian kami mempersiapkan segala keperluan secepat mungkin, dan kami buatkan bekal makanannya yang kami bungkus dalam kantung terbuat dari kulit. Lalu Asma’ binti Abu Bakar memotong ikat pinggangnya untuk mengikat mulut kantong itu, sehingga dia mendapatkan sebutan “pemilik ikat pinggang”.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menemui Abi bin Abi Thalib dan memeirntahkan untuk menunda keberangkatannya hingga selesai mengembalikan barang-barang titipan setiap orang di Mekkah yang merasa khawatir terhadap terhadap barang miliknya yang berharga, mereka selalu menitipkannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka mengetahui kejujuran dan kesetiaan beliau di dalam menjaga barang amanat.

Sementara itu Abu Bakar memerintahkan anak lelakinya Abdullah supaya menyadap berita-berita yang dibicarakan orang banyak di luar untuk di sampaikan pada sore harinya kepadanya di dalam gua. Selain Abdullah kepada bekas budaknya yang bernama Amir bin Fahirah, Abu Bakar juga memerintahkan supaya menggembalakan kambingnya di sinag hari, dan pada sore harinya supaya digiring ke gua untuk diperah air susunya di samping untuk menghapuskan jejak. Kepada Asma’, Abu Bakar menugasinya supaya membawa makanan kepadanya setiap sore.

Ibnu Ishaq dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Yahya bin ‘Ibad bin Abdillah bin Zubair dari Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat bersama Abu Bakar, Abu Bakar membawa serta semua hartanya sejumlah enam atau lima ribu dirham. Selanjutnya Asma’ menceritakan: Kemudian kakekku yang sudah buta, Abu Quhafah, datang kepada kami seraya berkata, “Demi Allah aku melihat Abu Bakar berangkat meniggalkan kamu dengan membawa seluruh hartanya.” Aku jawab, “Tidak, wahai kakek. Dia telah meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kami.” Lalu aku ambil beberapa batu kemudian aku letakkan di tempat di mana Abu Bakar biasa menaruh uanngya, lalu aku tutupi dengan kain. Kemudian aku pegang tangannya dan aku katakan kepadanya, “Letakkanlah tanganmu di atas uang ini.”

Kemudian dia meletakan tanganyna di antaranya seraya berkata, “Tidak mengapa, jika dia telah meninggalkan untukmu. Dia telah berbuat baik, dan ini cukup untukmu.” Asma’ berkata,”Demi Allah sebenarnya dia tidak meninggalkan sesuatu untuk kami, tetapi dengan cara itu aku hanya ingin menyuruh kakek diam.

Pada mala hijrah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam orang-orang musyrik telah menunggu di pintu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka mengintai hendak membunuhnya. Tetapi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat di hadapan mereka dengan selamat, karena Allah telah mendatangkan rasa kantuk pada mereka. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib dengan tenang tidur di atas tempat tidur Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, setelah mendapatkan jaminan dari beliau bahwa mereka tidak akan berbuat kejahatan terhadapnya. Maka berangkatlah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Abu Bakar menuju gua Tsur.

Peristiwa ini menurut riwayat yang paling kuat terjadi pada tanggal 2 Rabi’ul awwal bertepatan dengan 20 September 622 M, tiga belas tahun setelah bi’tsah.Kemudian Abu Bakar memasuki gua terlebih dahulu untuk melihat barangkali di dalamnya ada binatang buas atau ular. Di gua inilah keduanya menginapselama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka, kemudian turun ke Mekkah pada waktu Shubuh. Sementara Amir bin Fahirah datang ke gua dengan membawa kambing-kambingnya untuk menghapuskan jejak Abdullah.

Dalam pada itu, kaum musyrik setelah mengetahui keberangkatan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengawasi semua jalan ke arah Madinah, dan memeriksa setiap persembunyian, bahkan sampai ke gua Tsur. Saat itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar mendengar langkah-langkah kaki kaum musyrik di sekitar gua, sehingga Abu Bakar merasa khawatir dan berbisik kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Seandainya di antara mereka ada yang melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kami.” Tetapi dijawab oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,”Wahai Abu Bakar, jangan kamu kira kita hanya berdua saya. Sesungguhnya Allah berserta kita.”

Allah menutup mata kaum musyrik sehingga tak seorangpun melihat ke arah gua itu, dan tak serorangpun di antara mereka yang berpikir tentang apa yang ada di dalamnya. Setelah tidak ada lagi yang mencari, dan setelah datang Abdullah bin Arqath seorang pemandu jalan yang dibayar untuk menunjukkan jalan rahasia ke Madinah, berangkatlah keduanya menyusuri jalan pantai dengan dipandu oleh Abdullah bin Arqath itu.

Pada waktu itu kaum Quraisy mengumumkan tawaran, bahwa siapa saja yang dapat menangkap Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar akan diberi hadiah sebesar harga diyat (tebusan) masing-masing dari keduanya.

Pada suatu hari, ketika sejumlah orang dari Bani Mudlij sedang mengadakan pertemuan, di antara mereka terdapat Suraqah bin Ja’tsam, tiba-tiba datang kepada mereka seorang laki-laki sambil berkata, “Saya baru saja melihat beberapa bayangan hitam di pantai. Saya yakin mereka adalah Muhammad dan para sahabatnya.” Suraqah pun mafhum bahwa mereka adalah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi dengan pura-pura berkata, “Ia berhenti sejenak, kemudian menunggang dan memacu kudanya untuk mengejar rombongan iut, hingga ketika telah sampai dekat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba kudanya tersungkur, dan dia pun jatuh terpelanting. Kemudian dia bangun dan mengejar kembali sampai mendengar bacaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berkali-kali Abu Bakar menoleh ke belakang, sementara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan terus dengan tenang. Tetapi tiba-tiba Suraqah terhempas lagi dari punggung kudanya dan jatuh terpelanting. Ia bangun lagi dengan tubuh berlumuran tanah, kemudian berteriak memanggil-manggil minta diselamatkan. Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar menghampirinya, ia meminta ma’af dan mohon supaya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa memohonkan ampunan untuknya, dan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ia menawarkan bekal perjalanan. Oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dijawab,”Kami tidak membutuhkan itu! Yang kuminta supaya engkau tidak menyebarkan berita tentang kami.” Suraqah menyahut, “Baiklah.”

Maka pulanglah Suraqah dan setiap kali bertemu dengan orang-orang yang mencaricari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dia selalu menyarankan supaya kembali saja. Demikianlah kisah Suraqah.

Di pagi hari ia berjuang dengan giat ingin membunuh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi di sore hari berbalik menjadi pelindungnya.

hasan albanna.com

Fitnah yang Hanya Mampu Dihadapi Seorang Nabi

Saya membaca dan merenungkan (hadits) ketika Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Kita pulang dan jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa jihad yang lebih besar itu?” Rasul menjawah, “Jihad melawan nafsu.”[1] Saya membayangkan hidup bersama Rasulullah dan para sahabatnya pada Perang Hunain, berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala..

“Dan ingatlah peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun.” (At Taubah: 25)

Akhir dan peperangan itu, kaum Muslimin pulang dengan membawa kemenangan, yang semata-mata atas pertolongan Allah. Kemudian mereka membahagi-bahagikan ghanimah (harta rampasan perang). Harta itu dibagikan terutama kepada para tokoh kabilah yang baru saja masuk Islam, dengan bagian yang lebih besar dalam rangka melunakkan hati mereka. Bahkan, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan puluhan unta kepada setiap orang dari mereka.

Saat itu kaum Anshar tidak mendapat bagian, karena ghanimah hanya diberikan kepada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah setempat. Maka timbullah di hati sahabat Anshar ganjalan dan berbagai dugaan. Muncullah kasak-kusuk di antara mereka.

Muncul pula perasaan dongkol, hingga terlontar ungkapan dari mulut mereka, “Siapa yang mengungkapkan perkataan buruk?”

Lalu di antara mereka sendiri ada yang menjawab, “Rasulullah, beliau telah bertemu kaumnya.”

Sejenak kita berhenti dan merenung. Bagaimana mungkin orang-orang Anshar memiliki perasaan macam-macam dan dugaan negatif, padahal mereka adalah orang-orang terdepan dalam Islam? Bagaimana mungkin mereka saling kasak-kusuk hingga muncul ungkapan bernada miring, padahal mereka baru saja kembali dari Perang Hunain, bahkan darah yang mengucur dari luka mereka pun masih segar?

Bagaimana mungkin, padahal mereka telah berperang dengan senjatanya, membela Islam dengan mengorbankan harta, dan meninggalkan keluarga demi perjuangan? Sungguh ini merupakan kasus yang sangat berbahaya. Tak seorang pun dari sahabat yang menduga kasus ini akan muncul, namun kenyataannya hal itu benar-benar terjadi dan (sangat mungkin) akan terus berulang pada generasi berikutnya, sepanjang zaman. Sungguh, kasus yang rumit ini lebih berbahaya daripada apa yang terjadi pada Perang Hunain sendiri. Mengapa? Sebab Perang Hunain adalah peperangan antara kaum Mu’minin dan kaum kafir. Dalam keadaan seperti ini semangat kaum Mu’minin berkobar, ikatan ukhuwah dan kasih sayang di antara mereka makin kuat, dan pengorbanan untuk membela agamanya semakin besar.

Sementara pada kasus yang pekat ini, dapat memicu bila tidak ada pertolongan Allah lahirnya peperangan di antara kaum Mu’minin sendiri, meskipun di tengah-tengah mereka ada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala. berfirman,

“Bagaimana kalian (sampai) menjadi kafir, padahal telah dibacakan kepada kalian ayat-ayat Allah dan Rasul-Nyapun ada di tengah-tengah kalian?” (Ali Imran: 101)

Fitnah-fitnah ini hanyalah sebuah miniatur dari sebuah kejahatan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang Mahabijaksana dan Mahaagung-lah yang dapat memadamkannya. La adalah fitnah yang hanya menimpa Nabi.

Sa’ad bin Ubadah datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ada sebagian kaum Anshar yang di hatinya muncul “ganjalan perasaan” mengenai pembagian fa’i (harta rampasan perang) yang telah engkau putuskan. Engkau bahagikan kepada kaum-mu dan engkau bagikan kepada kabilah-kabilah Arab dengan pembagian yang besar. Sementara kelompok Anshar tidak mendapatkan sedikit pun dari pembagian itu.”

Rasul berkata, “Wahai Sa’ad, kamu sendiri berada di pihak yang mana?”

Sa’ad menjawab, “Saya hanyalah bagian dari kaum saya!”

Kemudian Rasul mengatakan, “Kumpulkan kaummu di tempat ini!”

Ini merupakan peristiwa baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar, pergi menghadap Rasul untuk menyampaikan persoalan ini dengan jelas, terus terang, amanah, dan berani. Sehingga ketika Rasul bertanya, “Wahai Sa’ad, kamu sendiri berada di pihak yang mana?”, Sa’ad menjawab, “Saya hanyalah bagian dari kaum saya!”

Tokoh Anshar ini tidak berdiam diri terhadap kasus yang dialami kaumnya, juga tidak mencacinya, apalagi mencari muka di hadapan Rasulullah dengan menjelek-jelekkan mereka. Bahkan dengan “rasa solidaritas” kepada mereka, tokoh ini mengatakan, “Saya hanyalah bagian dari kaum saya!” Sungguh, ini merupakan sikap jantan dan kesatria, yang mampu menggoncang jiwa.

Pada waktu Sa’ad keluar untuk mengumpulkan sahabat Anshar di tempat yang ditentukan, tiba-tiba datang sekelompok sahabat Muhajirin ikut masuk, tetapi dibiarkan oleh Sa’ad. Kemudian datang lagi sekelompok yang lain, namun dilarang olehnya.

Setelah mereka berkumpul, Sa’ad mendatangi Rasul Allah seraya berkata, “Sekelompok sahabat Anshar telah berkumpul guna memenuhi seruanmu dan tak seorang pun yang tertinggal.”

Rasul mendatangi mereka sambil bertahmid kepada Allah dan berterimakasih kepada Sa’ad atas perhatiannya, kemudian bersabda, “Wahai sahabat Anshar, saya telah mendengar tentang kalian bahwa dalam hati kalian muncul segumpal perasaan yang mengganjal mengenai tindakanku membahagi-bahagi fa’i. Wahai kaumku, bukankah aku datang kepada. kalian pada saat kalian tersesat, lalu Allah tunjukkan jalan kepada kalian? Aku datang kepada kalian saat kalian melarat, lalu Allah berikan kekayaan kepada kalian? Aku datang kepada kalian saat kalian saling bermusuhan, lalu Allah satukan hati kalian?”

Mereka serentak menjawab, “Benar, Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan karunia dan anugerah.”

Rasul bertanya, “Mengapa kalian tidak mau menjawab pertanyaanku wahai, kaum Anshar?”

Mereka menjawab, “Apa lagi yang harus kami jawab wahai Rasulullah? Anugerah dan karunia hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya!”

Kemudian Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh demi Allah, seandainya kalian mau, kalian dapat mengatakan kepadaku, dan kalian benar adanya. Kalian akan mengatakan, ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terabaikan, lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan menderita, lalu kami menampungmu. Dan engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara, lalu kami membantumu.’”

Rasulullah adalah orang yang sangat mencintai sahabatnya. Beliaulah yang mengatakan, “Sahabatku sebagai bintang-bintang. Kepada siapa pun di antara mereka kalian mengikuti, kalian pasti akan mendapat petunjuk.”

Para sahabat juga dipuji Allah dalam kitab-Nya,

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras kepada orang-orang kafir tetapi bersikap lemah lembut kepada sesamanya!”{Al Fath:29)

“Di antara orang-orang Mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al Ahzab: 23)

Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu bersikap rendah hati dan kasih sayang kepada mereka.

Sungguh, behau mengetahui kedudukan mereka dan membanggakannya, beliau tidak pernah bertindak sewenang-wenang kepada mereka. Mereka adalah generasi Islam pertama yang unik. Dengan perasaan ketuhanan yang lembut dan akhlaknabawi yang mulia inilah hati mereka segera berubah menjadi bersinar dan segar. Beliaulah yang secara proaktif melayani mereka dengan penuh rasa kasih sayang, berdialog dengan mereka dengan kata-kata yang lebih baik, yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dari aqidah yang bersih, dan untuk tujuan yang suci.

Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ketika sahabat Anshar merasa malu untuk mengatakannya

“Sungguh demi Allah, seandainya kalian mau, kalian dapat mengatakannya kepadaku, dan kalian benar adanya. Kalian dapat mengatakan, ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terabaikan, lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan mendenta, lalu kami menampungmu. Dan Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara, lalu kami membantumu.’”

Beliau seorang rasul mulia yang dapat menyelami hati para sahabatnya dengan kaidah kenabian yang penuh kejujuran dan ketawadhu’an. Suatu cara yang tidak dicemari oleh debu kesombongan dan kecongkakan.

Pernahkah Anda mendengar di dunia ini orang yang dapat memadamkan situasi panas dengan kasih sayang dan kedekatan? Pernahkah Anda mendengar di dunia ini seseorang yang berkata tentang dirinya, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terabaikan, lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan menderita, lalu kami menampungmu. Dan Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara, lalu kami membantumu.”

Sungguh, tidak pernah ada kecuali seorang Nabi yang punya mukjizat.

Dalam peristiwa ini telah tercatat suatu fenomena kepemimpinan terbaik dan seorang Nabi yang,

“Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mu’min.” (At Taubah: 128)

Dialah seorang manusia “agung” yang pernah tampil di pentas dunia ini. Beliau tidak menunjukkan sikap permusuhan atau sikap membela diri, tetapi beliau justru menjelaskan sebagaimana anjuran Allah,

“Ajaklah (manusia) ke jalan ‘Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebib baik.” (An Nahl: 125)

Adakah cara yang lebih baik daripada membalut luka dan menyatukan hati untuk menarik kebahagiaan? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan keutamaan untuk pemiliknya. Dengan inilah akan muncul keutamaan-keutamaan yang lain, akan dapat menumbuhkan jiwa yang bersih, dan kasih sayang menjadi semakin subur.

Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai sahabat Anshar, apakah kalian dapatkan dalam diri kalian kecintaan akan sepotong dunia, yang saya gunakan untuk melunakkan hati suatu kaum sehingga mau masuk Islam, sementara saya sudah tidak meragukan lagi keislaman kalian?”

Dengan nasihat ini, Rasulullah ingin memotivasi iman orang-orang Anshar dan mengingatkan masa lalu mereka yang cemerlang. Dengan cara ini beliau mengingatkan kepada mereka yang lupa bahwa pada prinsipnya, jihad itu mengentaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya dan menarik mereka ke dalam Islam. Oleh karena itu, Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan sedikit ghani-mah dengan harapan dapat melunakkan hati suatu kaum yang baru mengenal Islam, agar masuk Islam dan bertambah keimanannya. Itulah sebenarnya inti tujuan sikap beliau. Tujuan da’wah adalah untuk menyelamatkan manusia. Harta gbanimah, berapa pun nilainya, hanyalah secuil dunia. Apa yang ada di sisi Allah-lah yang lebih baik dan abadi.

Seorang Mu’min harus mengingat kembali prinsip dalam setiap pengambilan sikap saat menyeru “Allah Tujuan Kami.” Sesungguhnya inilah makna ungkapan Rasulullah, “Saya percaya pada keislaman kalian!” yakni percaya pada pemahaman dan kesadaran iman para sahabat yang utuh.

Selanjutnya Rasulullah mengatakan, “Wahai sahabat Anshar, apakah kalian tidak rela bila orang lain pergi membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah?”

Sungguh suatu sentuhan ruhiah yang mengesankan dan besar pengaruhnya bagi jiwa. Orang lain pulang dengan membawa sepotong dunia yang fana, sementara yang lain pulang dengan disertai makhluk yang tercinta di sisi Allah, yaitu Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Alangkah terhormatnya yang mendapat bagian ini! Alangkah bangga dan mulianya mereka! Bahkan setelah itu, mereka masih mendapat syafaat dan kebersamaan dengan Rasul di hari Kiamat nanti.

Berikutnya Rasulullah mengatakan, “Demi zat yang jiwaku di tanganNya, seandainya tidak ada hi) rah niscaya saya adalah salah seorang dari kaum Anshar. Seandainya seluruh manusia menempuh jalan di suatu lereng bukit dan kaum Anshar menempuh jalan di lereng bukit yang lain, saya akan lewat di lereng bukit bersama orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah sahabat Anshar, anak-anak, dan cucucucu mereka.”

Demi mendengar itu semua, menangislah mereka hingga janggut mereka basar dengan air mata. Di antara sedu-sedan itu mereka berkata, “Kami rela mendapat bagian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam!”

Ungkapan Rasulullah ini pada hakikatnya ditujukan untuk seluruh umat manusia. Suatu ungkapan yang membasahi jiwa dan menyentuh perasaan. Rasul mengutamakan mereka (kaum Anshar) atas kaum yang lain karena jasa, perlindungan, dan pertolongan mereka. Alangkah senangnya bila waktu itu kita termasuk di antara mereka. Adakah keinginan yang lebih dari itu? Seandainya kaum Anshar menginfaqkan semua yang ada di muka bumi ini, sungguh hal itu tidak dapat mencapai ketinggian darjat seperti “menara” ini, atau kebanggaan dan keberhasilan mendapat syurga, serta keredhaan Allah.

Saudaraku yang mulia, tahukah Anda bagaimana nasib manusia dulu, sekarang, dan yang akan datang? Tahukah Anda bagaimana terapi menghadapi ujian dan rintangan yang menantang?

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dalam rangka mencerahkan nasib umat manusia, dengan sebuah “terapi.” Sungguh suatu terapi yang bersifat memadukan bukan memisahkan, membangun bukan merobohkan, menambah kecintaan dan kedekatan, mengalahkan godaan-godaan nafsu, dan mengangkat manusia menuju darjat aqidah dan tujuan yang tinggi. Suatu terapi yang jelas-jelas dalam rangka merealisasikan cita-cita tertinggi dengan berdirinya daulah Islamiyah yang selalu mengibarkan panji Al Qur’an.

Tiada Zat yang wajib disernbah kecuah Allah, dan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah utusan Allah.

 


[1] Telah sering kita dengar dari kalangan muslimin bahwa memerangi musuh adalah ‘jihad kecil’. Adapun ‘jihad besar’ adalah memerangi hawa bafsu. Banyak yang berdalil dengan sebuah riwayat, ‘kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad besar itu?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Jihad terhadap hati atau jihad melawan hawa nafsu.”

Dengan hadits ini, sebagian orang bermaksud memalingkan orang lain dari memahami pentingnya jihad, persiapan untuknya tekad untuk menegakkannya, dan menyiapkan berbagai sarannya. Adapun riwayat hadits diatas sebenarnya bukanlah hadits shahih. Berkata Amirul Mukminin dari hadits Al-Hafidz ibnu Hajar dalamTasdidul Qaus, “Hadits itu memang sangat masyhur, Namun sebenarnya ia adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah.”

Berkata Al Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya’Ulumuddin, “Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad dha’if dari Jabir. Dan diriwayatkan oleh Khatib dalam tarikhnya dari Jabir, ‘Jika saja hadits ini shahih, maka sama sekali tidak benar jika dipahami sebagai memalingkan orang dari jihad dan persiapan bagi penyelamatan negeri kaum muslimin. Namun artinya adalah kewajiban bagi seseorang untuk memerangi dirinya sehingga bersihlah seluruh amalnya hanya karena Allah. Maka yang demikian itu, ketahuilah.’” (Hasan Al Banna – Risalah Jihad)

hasanalbanna.com

Ribuan Warga Iringi Jenazah Syahid Al-Thiti

 

 

 

Hebron-PIP: Ribuan warga Hebron, Rabu (13/3) berduyun-duyun mengantar jenazah syahid Mahmud Adil Faris At-Thiti (24) dari kamp al-Fawar, Hebron Selatan ke tempat peristirahatannya terakhir, di tengah tuntutan para warga agar Brigade Al-Qassam melakukan respon balasan atas tumpahnya darah para syuhada.

Rombongan warga berangkat dari Masjid Al-Fawar setelah shalat dhuhur, turut serta ketua parlemen Palestina, Dr. Aziz Duwaik dan sejumlah anggota fraksi perubahan dan reformasi, di samping para pimpinan faksi Palestina dan sejumlah organisasi Islam di Universitas Hebron, juga tampak sejumlah anggota Komite Pusat Fatah dan Gubernur Hebron.

Para warga menuntut Brigade Al-Qassam untuk merespon balas dan menuntut otoritas Palestina supaya menghentikan kerjasama keamanan dengan penjajah zionis, yang dianggap sebagai penghianatan terhadap pengorbanan para syuhada.

 

infopalestina.com

Zionis Cegah Akademisi Afrika Selatan ke Tepi Barat

13 March 2013, 11:34.

JAKARTA, Rabu (SahabatAlAqsha.com): Penjajah zionis ‘Israel’ menolak masuk seorang akademisi ternama, relawan HAM yang juga Direktur Pusat Hak Pendidikan dan Transformasi di Universitas Johannesburg, Dr. Salim
Vally Selasa kemarin (12/3). Electronic Intifada menyebut sikap Zionis ini sebagai contoh terbaru penindasan kebebasan pendidikan di wilayah
Palestina yang diduduki.

Vally yang juga anggota Komite Solidaritas Palestina (PSC) diundang untuk memberikan sejumlah kuliah di Tepi Barat oleh Yayasan Friedrich Ebert Stiftung Jerman.

Vally yang terpaksa kembali ke jembatan perbatasan Allenby antara
Yordania dengan Tepi Barat setelah sempat ditahan dan diinterogasi selama lima jam, dipermalukan lalu digeledah oleh pasukan zionis, akhirnya menyampaikan kuliahnya dari Amman lewat video.

“Yang paling menyakitkan dari semua cerita ini adalah melihat warga Palestina kembali ke rumah mereka. Banyak dari mereka adalah orang-orang tua yang bahkan lebih tua dari orangtua saya diperlakukan tidak baik dan dipermalukan oleh orang-orang muda yang cukup muda untuk menjadi cucu mereka,” kata Vally.

Vally bukanlah akademisi Afrika Selatan pertama yang ditolak masuk ke Palestina oleh penjajah zionis. Pada bulan Mei 2011, zionis menolak kedatangan Direktur Pusat Afro-Timur Tengah (AMEC) di Johannesburg, Na’eem Jeenah.

Sementara penjajah zionis secara rutin menolak para akademisi masuk ke Palestina termasuk seorang guru Palestina-Amerika bernama Nour Joudah yang dilarang kembali setelah kunjungan sepuluh hari ke Yordania, masyarakat internasional menaruh perhatian pada aksi Zionis ini.

Pada tahun 2010 lalu, zionis dipermalukan lewat kecaman-kecaman global setelah menolak kedatangan profesor Noam Chomsky. Meski begitu, zionis tetap melarang akademisi memasuki wilayah Palestina sambil mengeluh bahwa pihaknya telah diperlakukan tidak adil oleh para akademisi dan diboikot.

Pada tahun 2011, senat Universitas Johannesburg memutuskan untuk menghentikan perjanjian kerja sama dengan Universitas Ben Gurion sebagai respon atas kampanye pemboikotan zionis. Tahun lalu, pemerintah Afrika Selatan juga meminta warganya untuk tidak mengunjungi zionis akibat perlakuan buruknya terhadap rakyat
Palestina.

Kedatangan Vally kemarin untuk melihat rakyat Palestina bukan mengunjungi ‘israel’. Namun, tidak ada yang bisa mengunjungi Palestinatanpa melewati ‘pemeriksaan Israel’.* (MR/ Sahabat al-Aqsha)

20130313-113927.jpg

Gembala Domba Dipukuli Satpam Zionis

13 March 2013, 14:07.

JAKARTA, Rabu (SahabatAlAqsha.com): Seorang relawan merekam aksi
pemukulan terhadap seorang penggembala Palestina pada hari Senin
(11/3) oleh satpam pemukiman ilegal Yahudi di dekat desa Susya
Palestina, Selatan Tepi Barat. Penggembala itu diketahui bernama Na’al
Abu Aram sementara satpam yang berasal dari pos Avigail itu belum
diketahui identitasnya.

Situs IMEMC (International Middle East Media Center) melaporkan, dalam
rekaman tersebut penjaga itu terlihat memukul, menendang serta
mendorong penggembala kemudian ia melarikan diri setelah kawanan domba
datang dan membuatnya takut. Dua serdadu zionis juga tampak ada di
lokasi kejadian dan cuma menyaksikan.

Pos Avigail dibangun di atas tanah Palestina yang dicuri oleh mantan
serdadu zionis pada tahun 2001. Serdadu-serdadu zionis kemudian pindah
ke lahan yang dimiliki warga lokal Palestina tersebut. Mereka datang
dengan persenjataan lengkap dan mulai mengganggu para penduduk desa
serta penggembala.

Pada insiden hari Senin itu, satpam zionis mengklaim kepada reporter
Ynetnews yang mempublikasi rekaman pemukulan tersebut bahwa ia telah
difitnah dan yang sebenarnya adalah, penggembala itu yang menyerangnya
dulu.* (MR/ Sahabat al-Aqsha)

2